Zakat mustinya bisa mensejahterakan, iya kan?

Bulan Ramadhan, bulan paling tepat untuk menunaikan salah satu kewajiban seorang muslim, yakni Zakat. Setidaknya kebanyakan dari kaum muslim di Indonesia menunaikan kewajiban zakat yang setahun sekali ini saat bulan Ramadhan (haul dihitungnya pas Ramadhan).

Setidaknya, zakat yang dikeluarkan oleh seorang muslim muzakki adalah sekitar 530ribu rupiah (harga emas didapat dari sini) dengan nishab sekitar 21 juta rupiah. Ini tentu saja adalah nilai minimum zakat yang dikeluarkan, seandainya 10 persen saja dari kaum muslim Indonesia yang sekitar 200juta orang adalah muzakki, maka setidaknya dana terkumpul semestinya berkisar 10 milyar rupiah. Ini adalah perhitungan minimal, dan tentu saja angka ini lebih besar lagi, karena harta orang Indonesia yang lebih dari 21juta rupiah juga banyak. Contoh saja pak Aburizal Bakrie yang kekayaannya konon katanya US$ 200 million, zakatnya kira-kira sekitar 5juta dolar, alias sekitar 46 milyar rupiah.

Nah, permasalahannya, apakah zakat itu benar-benar telah mensejahterakan rakyat kita? Atau orang Indonesia terlalu pelit dan enggan berzakat?

Konsep zakat sebenarnya adalah konsep mensejahterakan umat. Jika kita berkaca kepada sejarah Islam. Khalifah Umar bin Abdul Aziz mulai memerintah saat ekonomi Islam sedang bangkrut karena pemimpinnya yang berfoya-foya. Dua tahun dia memimpin, dia bertanya kepada pembantunya, "Siapa saja yang saat ini memerlukan zakat?", jawab pembantunya "Tiada lagi yang berhak menerima zakat kecuali engkau dan aku." Waw, justru sang khalifah sendiri yang jadi mustahik, sementara rakyatnya telah menjadi muzakki.

Konsep zakat datang sebenarnya bukan seperti Sinterklas yang datang untuk bagi-bagi hadiah. Zakat semestinya membuat masyarakat semakin produktif dan tidak malas, apalagi yang terjadi, zakat seperti menjadi bahan rebutan para peminta-minta. Tiap tahun, terus berulang dan berulang kembali. Dengan zakat, masyarakat semestinya dididik untuk menjadi mandiri, tidak lagi berharap tergantung kepada orang lain. Prinsip tangan di atas selalu lebih baik daripada tangan di bawah semestinya menjadi pilihan yang kelak harus diambil. Yang sayangnya hal ini sulit terjadi di Indonesia. Jika zakat masih dimaknai memberikan sebagian harta kita (sebenarnya tepatnya mengambil harta yang bukan milik kita, tapi kebetulan ngendon di kita) kepada fakir miskin semata, tentu spirit dari zakat tidak akan didapatkan.

Ketika Allah SWT berfirman dalam surat Taubah ayat 71

Dan orang mu’min dan mu’minat, mereka saling menyokong (membantu) satu dengan yang lain, untuk menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, menegakkan sholat, dan menunaikan zakat, serta ta’at kepad Alloh dan RasulNya.

Dari ayat itu, ada sebuah prinsip bahwa zakat "tidak bisa" dilakukan secara personal, melainkan seharusnya ia dikelola secara berjama’ah untuk mendapatkan kemanfaatan yang besar. Setetes air tentu tidak dapat menghilangkan dahaga, tapi seteguk air lah yang mampu menghilangkan dahaga tadi. Ketika potensi zakat Indonesia betul-betul maksimal, niscaya kita akan lebih cepat mengurangi angka kemiskinan yang ada di tengah-tengah masyarakat kita.

Isn’t it??